Perkembangan ekonomi,politik,politik luar negeri korea selatan dan korea utara
Dua negara, yaitu Korea Utara dan
Korea Selatan memang bertetangga dari segi geografis bahkan dapat
dikatakan mereka adalah saudara serumpun, namun pada kenyataannya
hubungan antar kedua negara ini tidak terlalu baik, bahkan cenderung
bermusuhan. Keunikan lain yang dapat ditemukan disini adalah, bagaimana
negara yang sama-sama mengusung nama ‘Korea’ ini ternyata memiliki
bentuk strategi perekonomian serta perpolitikan yang jauh berbeda. Dalam
pembahasan inilah kita akan mencoba mengamati strategi perekonomian,
politik internal, Politik luar negeri masing-masing negara. selain itu
mengangkat pula isu reunifikasi dan isu nuklir yang sangat mempengaruhi
hubungan keduanya.
Ekonomi, Politik, dan Politik Luar Negeri Korea Utara
Korea Utara merupakan salah satu negara komunis yang ada di wilayah Asia Timur. Nama asli dari Korea Utara adalah The Democratic People’s Republic of Korea,
dengan populasi penduduk 23.900.000 jiwa, dengan ibu kotanya Pyongyang
(news.bbc.co.uk). Korea Utara mempunya presiden yang telah ditetapkan
‘abadi’ yaitu Kim Il-sung yang sudah meninggal, sehingga sekarang Korea
Utara dipimpin oleh seorang chairman, National Defence Comission yang merupakan putra dari Kim Il-sung yaitu Kim Jong-il.
Pada dasarnya Korea utara adalah negara
penganut komunis tertutup, bahkan menurut saya masih ada pola-pola
otoriter dimana pemerintah relatif kaku dalam mengatur dan membuat
kebijakan bagi rakyatnya. Sistem semacam ini akhirnya menjadi tanah
subur bagi banyaknya pelanggaran hak asasi manusia. Kenyataan ironisnya
adalah badan-badan bantuan memperkirakan bahwa kurang lebih ada dua juta
orang telah meninggal sejak pertengahan 1990-an karena kekurangan
pangan akut yang disebabkan oleh bencana alam dan buruknya sistem
ekonomi. Negara bergantung pada bantuan asing untuk memberi makan jutaan
rakyatnya (news.bbc.co.uk). Pilihan untuk menutup diri agaknya justru
membuat keadaan menjadi semakin buruk, terlebih ketika ketertutupan ini
bukan hanya mengenai hubungan dengan negara lain, namun juga pembatasan
penyebaran berita kepada rakyatnya sehingga rakyatnya dibuat tidak tahu
mengenai berita-berita di dunia luar (news.bbc.co.uk). Hal ini menurut
saya, semakin membuat rakyat tidak berkembang dan semakin bergantung
kepada pemerintah semata.
Kisaran tahun 1980an perekonomian Korea
Utara semakin suram. Sehingga akhirnya tercetus program tujuh tahun
(1987-1994) dimana dilakukan modernisasi produksi serta membuka diri
bagi investasi yang disengaja lebih difokuskan pada industri berat dan
perusahaan pembangkit listrik, karena mereka memiliki hambatan pada
industri berupa kurangnya energi sehingga banyak industri yang
berproduksi tidak maksimal. Hambatan lainnya adalah kurangnya lahan yang
memadai sehingga membuat Korea Utara melakukan banyaknya impor dan
besarnya hutang luar negeri, sekitar 2.7 triliun dolar pada Eropa dan
Jepang dan 4.0 triliun dolar pada Uni Soviet dan China (Wang,
1997:301).
Dalam mengusahakan
program-program pembangunnya Korea Utara memodifikasi ideologi
politiknya terhadap pihak asing, yaitu hanya untuk memperoleh teknologi
dan modal luar negeri. Investasi bentuk ini diperoleh pertama kali dari
kelompok pro-Pyongyang di Jepang dengan nilai sebesar 1,2 triliun dolar.
Sentralisasi ekonomi diubah dengan eksperimen free market di
kota dan beberapa provinsinya. Keseluruhan kebijakan berakhir pada
target penyelesaian musibah ekonomi, hingga wacana unifikasi dengan
Korea Selatan pun diadakan (Wang, 1997: 302).
Dari segi politik internal, seperti yang sempat disinggung sebelumnya, bersama dengan Juche
sebagai dasar ideologi dari Korea Utara, Kim Il Sung menjadi sosok
bapak yang kekuasaannya berbudi tinggi dan penuh kebaikan. Pemimpin
selalu dianggap benar dan setiap pemikirannya merupakan representasi
dari keinginan rakyat dan bangsanya. Juche dan Kim Il Sung menjadi perwujudan dari “sosialisme nasional Korea Utara” (Wang, 1997: 288). Juche sendiri dapat dipahami sebagai bentuk Self-reliance yaitu melakukan kontak dengan pihak asing sesedikit mungkin kecuali pada negara-negara yang mendukungnya yaitu China dan Rusia. Juche mengandung sedikit dasar dari persepsi Marxis-Lenin atau Maoisme (Wang, 1997: 288).
Konstitusi yang berlaku di Korea Utara, yaitu konstitusi Democratic People’s Republic of Korea (DPRK)
yang eksis sejak 1948, namun terdapat bentuk amandemen yang
menggantikannya sejak 17 Desember 1972 (Wang, 1997: 290). Presiden
menempati kekuasaan eksekutif, namun sekaligus menjadi komandan
tertinggi angkatan bersenjata, dan kepala kementrian pertahanan. Sejak
konstitusi 1948, Presiden adalah sekaligus perdana menteri (susang) dan pemimpin standing committee
di MPR (Wang, 1997: 290). Secara normatif, kekuasaan presiden, diawasi
oleh MPR sebagai badan tertinggi dalam kekuatan negara. Namun pada
prakteknya, MPR tidak lebih dari sekedar ‘penyedia stempel’ bagi
keputusan Presiden. Dalam MPR terdapat 615 deputi yang masing-masing
mewakili 30.000 orang, dipilih dengan masa bakti empat tahun (Wang,
1997: 291).
Dalam bahasan mengenai politik luar
negeri, kepemilikan nuklir Korea Utara menjadi sebuah signifikansi
tersendiri, termasuk dalam Politik luar negeri Korea Utara, yaitu
sebagai sebuah kekuatan tersendiri bagi Korea Utara dalam menghadapi
negara lain seperti Amerika dan Korea Selatan. Konteks politik luar
negeri selain dipengaruhi hal tersebut, juga sangat ditentukan dengan
ideologi juche yang membuat arah tindakan korea Utara terhadap
pihak asing menjadi cukup kritis, yaitu hanya menjalin hubungan dengan
mereka yang mendukung, dalam cakupan ketika Korea Utara memang merasa
perlu untuk meminta bantuan dari mereka, semisal ketika keterpurukan
ekonomi seperti yang telah dijelaskan di bagian sebelumnya.
Ekonomi, Politik, dan Politik Luar Negeri Korea Selatan
Semenanjung Korea berbatasan dengan Laut
Kuning di bagian barat dan Laut Jepang di sebelah timur. Dalam hal ini
semenanjung tersebut mengalami perluasan sekitar 195 mil dari pulau
Honshu, Jepang. Lokasi strategis dari Semenanjung Korea tersebut
tersebut merupakan kunci utama dalam mempelajari sejarah pembangunan
Korea. Terdapat enam sungai besar di semenanjung ini yang akhirnya
membuat wilayah Korea Selatan memiliki luas daratan yang lebih kecil
(www.state.gov). Korea Selatan telah mengalami perkembangan yang pesat
sejak berabad-abad lalu hingga sekarang. Korea Selatan yang awalnya
merupakan negara kecil dengan ekonomi yang lemah kemudian dapat tumbuh
menjadi negara yang maju dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat dengan
pemerintahan yang semakin kuat pula, bahkan kini menjadi kekuatan
ekonomi paling maju ke 17 di seluruh dunia (www.state.gov). Peningkatan
ini dimulai dari keputusan Korea Selatan untuk mengalihkan orientasi
ekonominya dari agrikultur pada industry perdaganga, serta dengan
mengijinkan investasi luar untuk masuk.
Dalam perpolitikannya, Pihak yang aktif
dalam melakukan kegiatan politik di Korea Selatan hanyalah elit politik
dan dan oposisinya dan juga partai oposisi. Kelompok-kelompok ini yang
aktif berperan pada politik yang terjadi di Korea Selatan. Kelompok elit
pemerintahan berusaha untuk terus menjaga kekuatan yang dimilikinya
berdasarkan mandat yang diberikan oleh Supreme Leader. Berkat aktifitas
pemerintah yang terus meningkat dan proses yang maju, sejak tahun
1973-1974 tingkat keaktifan masyarakat dalam politik semakin meningkat.
Pemerintahan secara garis besar terbagi pada kekuatan presiden,
legislatif, dan yuridiksi. Namun seringnya dipengaruhi oleh presiden,
yaitu Lee Myung-Bak (news.bbc.co.uk). Presiden sebagai kepala
pemerintahan akan dipilih melalui pemilu yang diadakan setiap lima tahun
sekali.
Hubungan Korea Selatan dengan pihak
asing juga cukup intensif terjadi, terlebih dengan negara superpower
Amerika Serikat. Bahkan bagi jika kita lihat dari sisi Amerika sendiri,
Korea Selatan dijadikan sebagai salah satu negara dengan tingkat kerja
sama yang paling intens dilakukan, ditunjukkan dengan posisi ke tujuh
Korea Selatan sebagai partner ekonomi Amerika Serikat (www.state.gov).
Politik luar negeri Korea Selatan sendiri juga sanagt dipengaruhi
dengan isu reunifikasi dengan Korea Utara, serta mengenai respon Korea
Selatan atas kepemilikan nuklir Korea Utara.
Isu Reunifikasi
“For almost 20 years after the 1950-53 Korean War, relations between North and South Korea were minimal and very strained” (www.state.gov)
Kenyataan bahwa negara yang bersaudara
ini justru tidak memiliki hubungan yang baik akhirnya mengalami tahap
pencerahan dengan cetusan untuk proses unifikasi, Proposal unifikasi ini
dimulai dengan agenda-agenda politik disertai dengan dibukanya
jalur-jalur perjalanan lintas negara untuk mengusahakan reunifikasi
keluarga-keluarga yang terpisah sejak tahun 1945 dan tujuan utamanya
tetap adalah kepentingan dagang dengan Korea Selatan. Tahun 1971, dimana
kedua negara ini bertemu untuk membicarakan kelanjutan ‘keluarga
Korea’. Akhirnya pada Juli 1972, mereka bersepakatan untuk proses
reunifikasi, dan terus diupayakan dengan adanya komunikasi dan hubungan
yang mulai membaik, ditambah ketika Kim Dae-Jung mencetuskan sunshine policy-nya.
Sayangnya hingga saat ini hubungan keduanya belum sepenuhnya mau untuk
kembali bersatu, dan hal ini menurut saya dikarenakan adanya rasa saling
tidak percaya juga karena permasalahan nuklir serta intervensi Amerika
Serikat yang terkadang terlampau jauh. Terlebih, sejak keluarnya Korea
Utara dari Nuclear-Proliferation Treaty hubungan keduanya kembali memburuk (Wang, 1997:303).
0 komentar:
Posting Komentar