Indonesia Berguru Ke Korea Selatan Untuk Kemajuan Iptek Dalam Negeri
Indonesia berkiblat ke Korea Selatan dalam mengembangkan inovasi sains
dan teknologi. Negeri Ginseng telah membuktikan mampu lepas dari
ketergantungan teknologi negara maju dan bisa membangun dengan teknologi
sendiri. Bahkan Korea kini berstatus sebagai negara maju yang terus
mengejar prestasi tetangganya, Jepang.
"Korea punya pengalaman mengembangkan iptek yang bagus. Kita bisa mencontoh mereka," kata Dudi Hidayat, peneliti Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Pappiptek) LIPI, Senin, 28 Januari 2013.
Korea menjadi salah satu peserta seminar Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) Research and Technology 2013 yang dibuka di Auditorium LIPI hari ini. Seminar untuk membahas kerangka strategis pengembangan sains dan teknologi antar-negara-negara anggota APEC ini digelar Pappiptek LIPI bersama Kementerian Pendidikan, Sains, dan Teknologi Korea Selatan serta Science and Technology Policy Institute.
Acara yang akan berlangsung hingga 1 Februari ini juga diikuti Amerika Serikat, Cina, Rusia, India, Prancis, Meksiko, Kanada, Australia, Papua Nugini, Cile, Taiwan, Laos, Iran, Nepal, Bangladesh, Thailand, Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Jepang. Sejumlah organisasi riset internasional dan pakar juga diundang.
Kepala Divisi Riset Sistem Manajemen Sains dan Teknologi LIPI, Trina Fizzanty, mengatakan, pertemuan ini penting untuk bertukar pikiran tentang teknologi antara negara maju dan negara berkembang. "Indonesia bisa mempelajari teknologi yang dapat diadaptasi dari negara lain," ujarnya.
Pengembangan teknologi di Indonesia berfokus pada tujuh bidang, yakni pangan, energi dan air, kesehatan, pertahanan, transportasi, informatika, dan material maju. Seluruhnya membutuhkan inovasi sains dan teknologi yang sesuai supaya dapat dikembangkan, terutama pada skala industri.
Dudi mengatakan, sektor industri di Indonesia kurang menyerap teknologi hasil lembaga riset dan universitas. Ini wajar karena negara berkembang biasanya lebih banyak mengambil teknologi dari luar negeri. Namun, tidak semua negara berkembang mampu mengadopsi teknologi dari negara maju.
Karena itu, pengalaman Korea Selatan penting sebagai pelajaran. Sekitar tahun 1960, Korea masih bergantung pada teknologi dari Amerika Serikat dan Eropa. Namun, sejak 1980, bangsa Korea mengembangkan teknologi sendiri. "Pengguna teknologi impor akhirnya bisa menghasilkan teknologi sendiri," kata Dudi.
Direktur Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) Research and Technology, Jeong Hyop Lee, mengatakan, butuh waktu puluhan tahun dan upaya keras bagi Korea untuk bangkit dan mandiri teknologi. Korea mengawalinya dengan mengerahkan tenaga kerja murah untuk memproduksi barang ekspor, terutama ke pasar Amerika. Mereka pun terus melakukan alih teknologi dari negara-negara maju. Hingga akhirnya berfokus mengembangkan teknologi untuk industri berat (otomotif, kapal, elektronik), dan kimia.
"Kini Hyundai menjadi industri otomotif peringkat lima dunia," ujar Lee, menyebutkan keberhasilan Korea mengembangkan industri otomotif, salah satu industri berat yang teknologinya digarap serius sejak 1980-an.
Kepala Pappiptek LIPI, Husein Avicenna Akil, mengatakan, langkah Korea Selatan patut ditiru, meski tidak gampang. Indonesia tidak dapat selamanya menggantungkan teknologi asing. "Kondisi kita berbeda dengan negara berkembang lain dan negara maju."
"Korea punya pengalaman mengembangkan iptek yang bagus. Kita bisa mencontoh mereka," kata Dudi Hidayat, peneliti Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Pappiptek) LIPI, Senin, 28 Januari 2013.
Korea menjadi salah satu peserta seminar Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) Research and Technology 2013 yang dibuka di Auditorium LIPI hari ini. Seminar untuk membahas kerangka strategis pengembangan sains dan teknologi antar-negara-negara anggota APEC ini digelar Pappiptek LIPI bersama Kementerian Pendidikan, Sains, dan Teknologi Korea Selatan serta Science and Technology Policy Institute.
Acara yang akan berlangsung hingga 1 Februari ini juga diikuti Amerika Serikat, Cina, Rusia, India, Prancis, Meksiko, Kanada, Australia, Papua Nugini, Cile, Taiwan, Laos, Iran, Nepal, Bangladesh, Thailand, Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Jepang. Sejumlah organisasi riset internasional dan pakar juga diundang.
Kepala Divisi Riset Sistem Manajemen Sains dan Teknologi LIPI, Trina Fizzanty, mengatakan, pertemuan ini penting untuk bertukar pikiran tentang teknologi antara negara maju dan negara berkembang. "Indonesia bisa mempelajari teknologi yang dapat diadaptasi dari negara lain," ujarnya.
Pengembangan teknologi di Indonesia berfokus pada tujuh bidang, yakni pangan, energi dan air, kesehatan, pertahanan, transportasi, informatika, dan material maju. Seluruhnya membutuhkan inovasi sains dan teknologi yang sesuai supaya dapat dikembangkan, terutama pada skala industri.
Dudi mengatakan, sektor industri di Indonesia kurang menyerap teknologi hasil lembaga riset dan universitas. Ini wajar karena negara berkembang biasanya lebih banyak mengambil teknologi dari luar negeri. Namun, tidak semua negara berkembang mampu mengadopsi teknologi dari negara maju.
Karena itu, pengalaman Korea Selatan penting sebagai pelajaran. Sekitar tahun 1960, Korea masih bergantung pada teknologi dari Amerika Serikat dan Eropa. Namun, sejak 1980, bangsa Korea mengembangkan teknologi sendiri. "Pengguna teknologi impor akhirnya bisa menghasilkan teknologi sendiri," kata Dudi.
Direktur Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) Research and Technology, Jeong Hyop Lee, mengatakan, butuh waktu puluhan tahun dan upaya keras bagi Korea untuk bangkit dan mandiri teknologi. Korea mengawalinya dengan mengerahkan tenaga kerja murah untuk memproduksi barang ekspor, terutama ke pasar Amerika. Mereka pun terus melakukan alih teknologi dari negara-negara maju. Hingga akhirnya berfokus mengembangkan teknologi untuk industri berat (otomotif, kapal, elektronik), dan kimia.
"Kini Hyundai menjadi industri otomotif peringkat lima dunia," ujar Lee, menyebutkan keberhasilan Korea mengembangkan industri otomotif, salah satu industri berat yang teknologinya digarap serius sejak 1980-an.
Kepala Pappiptek LIPI, Husein Avicenna Akil, mengatakan, langkah Korea Selatan patut ditiru, meski tidak gampang. Indonesia tidak dapat selamanya menggantungkan teknologi asing. "Kondisi kita berbeda dengan negara berkembang lain dan negara maju."
Inilah Cara Korea Mandiri Teknologi
Korea Selatan dikenal sebagai salah satu negara maju di Asia. Bersama
Jepang, Negeri Ginseng dikenal sebagai negara dengan industri otomotif
yang mampu memproduksi mobil-mobil kelas dunia. Jepang lewat Honda dan
Toyota, Korea lewat Hyundai.
Prestasi Korea mendongkrak industri otomotif tentu tidak seperti
membalikkan telapak tangan. Mereka mengawali kemandirian justru dengan
ketergantungan teknologi dari negara-negara maju.
"Dekade 1960 kami hanya punya tenaga kerja murah dan pasar domestik yang rendah," kata Jeong Hyop Lee, peneliti di Science and Technology Policy Institute, Senin, 28 Januari 2013. Lee menjadi salah satu pembicara dalam seminar Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) Research and Technology 2013 yang dibuka di Auditorium Lembaga Ilmu Pengetahua Indonesia hari ini.
Ia mengatakan, tenaga kerja murah Korea saat itu dikerahkan memproduksi barang dan jasa untuk memenuhi pasar ekspor, terutama ke Amerika Serikat. Bersamaan dengan itu teknologi dari negara maju mulai diadopsi untuk menggerakkan industri.
Aliran teknologi dari negara-negara maju, salah satunya Amerika Serikat, semakin gencar lantaran saat itu terjadi perang dingin antara Korea Selatan dengan negara tetangganya, Korea Utara. Alih teknologi menjadi semacam bentuk dukungan dari Amerika dan negara-neara sekutunya supaya paham komunis tidak menyebar ke selatan.
Namun, Lee mengatakan, pertumbuhan ekonomi Korea sangat sulit berkembang jika hanya mengandalkan ketergantungan teknologi dari negara lain. Hingga bangsa Korea menghadapi titik balik pada akhir dekade 1970. Saat itu terjadi krisis minyak dunia yang berdampak pada pemblokiran aliran teknologi dari negara maju ke negara berkembang.
Mulailah bangsa Korea berusaha menggerakkan perekonomian dengan tenaga sendiri. Pemerintah saat itu memacu pertumbuhan ekonomi lewat industri berat dan kimia, antara lain otomotif, kapal, dan elektronik. "Ini membutuhkan inovasi sains dan teknologi," ujar dia.
Untuk mengembangkan sains dan teknologi, pemerintah Korea mendirikan lembaga riset pemerintah, yakni Science and Technology Policy Institute (lembaga riset Korea, seperti LIPI di Indonesia), dan konsorsium riset nasional. Konsorsium berperan sebagai lembaga "penyangga" yang membagi risiko investasi antara pihak pemerintah dan sektor swasta.
Strategi ini terbukti cocok. Lee mengatakan, pada 1980 lebih dari 90 persen investasi riset berasal dari pemerintah. Sepuluh tahun kemudian, lebih dari 80 persen investasi berasal dari sektor swasta. "Kebijakan inovasi memerlukan keterlibatan pihak swasta, karena mereka yang akan meneruskan inovasi itu," kata dia.
Hasilnya tidak main-main. Industri elektronik Korea, lewat merk Samsung dan LG, menjadi pesaing produk-produk elektronik buatan Cina, Eropa, Kanada, bahkan Amerika. "Hyundai menjadi industri otomotif peringkat lima dunia," ujar Lee menyebutkan keberhasilan Korea mengembangkan industri otomotif.
Dudi Hidayat, peneliti Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Pappiptek) LIPI, mengatakan, Korea mengembangkan teknologi yang berbeda dengan yang diresepkan negara-negara maju. "Mereka mengambil proses pembelajaran teknologi yang dikembangkan sendiri," katanya.
Kemandirian teknologi yang dicapai Korea disebabkan strategi kebijakan teknologi yang diintegralkan dengan kebijakan industri. Pengembangan inovasi sains dan teknologi menjadi bagian dari pengembangan industri. Ini yang tidak dijumpai di Indonesia.
Kepala Divisi Riset Sistem Manajemen Sains dan Teknologi LIPI, Trina Fizzanty, mengatakan, kualitas sumber daya manusia menjadi unsur yang penting untuk mencapai kemandirian teknologi. Korea membangun universitas yang khusus untuk menghasilkan ilmuwan. "Malaysia mengasah para ilmuwannya dengan jiwa kwirausahaan sehingga mau investasi untuk usaha," kata dia.
Ini belum termasuk keberpihakan pemerintah lewat anggaran penelitian. Dudi mengatakan, Indonesia hanya mengalokasikan dana riset sebesar 0,08 persen dari produk domestik bruto nasional. Bandingkan dengan Korea yang mematok tiga persen dari produk domestik bruto mereka untuk dana penelitian.
Menurut Lee, sebagai negara besar, Indonesia perlu berfokus pada teknologi infrastruktur dan transportasi. Pengembangan teknologi di kedua bidang itu yang sangat diperlukan untuk menyatukan Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau. "Butuh kepemimpinan yang kuat untuk mengkordinasikan semua itu," ujarnya.
0 komentar:
Posting Komentar